Dalam beberapa tahun terakhir, gaya hidup masyarakat kian lekat dengan perangkat digital dan akses virtual.
Kebutuhan perangkat digital mengakibatkan praktik industri dan masyarakat yang berlebihan yang kemudian berdampak pada peningkatan timbulnya limbah elektronik (e-waste) dan terbuangnya sumber daya elektronik tanpa ada kesempatan untuk diolah lagi.
Pada 2021, diperkirakan masyarakat dunia telah membuang e-waste sebesar 57,4 juta ton, yakni melebihi berat total dari Tembok Raksasa Tiongkok. Sementara itu, jumlah timbulan e-waste di Indonesia mencapai 2 juta ton. Miris bukan?
Salah satu solusi pengelolaan e-waste adalah melalui penerapan ekonomi sirkular dengan pengelolaan yang baik dan optimalisasi masa pakai menggunakan prinsip 9 R.
Maka dari itu, diperlukan perubahan paradigma ekonomi dari linear (ambil-pakai-buang) menjadi sirkular yang manfaatnya lebih panjang.
Timbulan e-waste dapat menimbulkan masalah seperti paparan racun pada tanah dan air yang berpotensi membahayakan rantai makanan dan berujung pada gangguan kesehatan.
Salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi e-waste bisa dilakukan melalui pengesahan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kebijakan itu memuat tahapan pengolahan e-waste yang dilakukan melalui proses pembersihan dan penghilangan seluruh cairan dan gas, pembongkaran komponen secara manual, pemilahan dan pemisahan komponen yang dicopot, proses pemecahan dan pemotongan, serta pemrosesan lanjutan yang digunakan sebagai bahan baku serta bahan elektronik.
Kebijakan tentang pengelolaan e-waste juga dimandatkan pada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang fokus kepada tahapan penanganan menyeluruh, mulai dari proses pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, sampai pengolahan akhir sampah spesifik.
Hasil kebijakan tersebut diharapkan dari segi aspek lingkungan, penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik diprediksi dapat membantu Indonesia menghindari hampir 0,4 juta ton emisi CO2 dan menghemat 0,6 miliar meter kubik air pada 2030.
Sedangkan dari sisi sosial, sirkularitas di sektor elektronik dapat menghasilkan penghematan rumah tangga tahunan senilai sekitar Rp 88 ribu atau 0,2% dari rata-rata pengeluaran rumah tangga tahunan saat ini.
Prinsip 9R ekonomi sirkular terdiri dari Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, dan Recycle yang menjadi kunci dalam penggunaan barang elektronik lebih berkelanjutan.
Adapun sebagai contoh upaya penerapan prinsip 9R ekonomi sirkular berikut ini:
Penerapan prinsip ekonomi sirkular 9R di masyarakat dapat menjadi langkah awal transisi ekonomi sirkular Indonesia sebagai upaya meningkatkan efisiensi sumber daya dan pengelolaan e-waste.
Upaya tersebut tidak hanya akan akan menghasilkan kontribusi terhadap lingkungan, namun pada pembangunan ekonomi negara yang lebih hijau dan berkelanjutan.***